Saturday 26 November 2016

Sekali waktu

Ada burung-burung menari di langit dikala senja. Ada apa dengan hari? Waktu lebih cepat bergulir dan menjadi asing.

Dulu aku menatapmu seperti pilar-pilar besar, sulit untuk kudekap, sulit untukku melihat. Karena kamu terlalu tinggi dari jangkauanku.

Aku tidak sedang berlebihan, hanya kita yang terkadang sedikit plin-plan.

Lalu waktu menjawab disela-sela hati yang telah terikat, pada bagian-bagian yang telah retak. Amarah yang memuncak, perih yang terlalu mencabik. Ada benci, rindu, tawa, tangis, cinta, caci dan maki.

Dan disitulah sebuah kehidupan menjadi berwarna. Ada yang menjadi pemenang ada yang terkalahkan. Meski tidak ada lomba dalam sebuah drama didalam kehidupan.

Aku pikir duniku berakhir pada detik sebelum waktu jauh bergerak.

Aku benci pada kehilangan-kehilangan, Aku benci pada waktu yang terbuang, dan kadang aku membenci waktu yang memaksaku untuk tumbuh menjadi dewasa.

Suatu ketika saat apa yang aku minta berdiri tepat dikedua mataku. Aku tau alam mulai bermain kembali dengan duniaku. Mungkin bermain atau hanya main-main.

Aku..... hanya perlu menanti waktu meminta kembali semua yang ada pada genggamanku. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau lusa, mungkin minggu ini, atau ditahun-tahun berikutnya.

Sekali lagi, aku hanya harus menunggu waktu meminta atau memberi. Begitu seterusnya sampai aku benar-benar lelah. Mungkin karena mereka, mungkin karena keadaan, dan mungkin, karena kemungkinan-kemungkinan lain.

Satu waktu saat waktu kembali meminta, aku mau bukan aku yang kembali merasa kehilangan. Bahkan jika itu tidak berbekas, aku tetap menginginkan itu bukan aku.

Thursday 10 November 2016

Isyarat

Aku tidak memahami tentang isyarat-isyarat yang kau buat. Aku tidak memahami bahasamu yang tersirat.

Jika memang keinginanmu melemah katakanlah. Bahkan jika genggamanku begitu kuat, aku sanggup untuk meregangkan.

Ada jejak-jejak kaki pada tanah basah, tawa anak-anak kecil membahana pada lorong-lorong. Setelah pergimu tepakmu mungkin hanya akan sekedar singgah, seperti cerita kita yang hanya sekedar "omong kosong".

Aku tidak akan meminta lebih dari ini. Kataku ini lebih dari cukup, tentang musim bunga-bunga yang bermekaran. Tentang dedaunan yang jatuh saat musim gugur. Bahwa aku menikmati setiap musim yang berganti.

Isyarat-isyarat itu ada, hanya saja seperti abu-abu. Pensil warnaku terlalu tumpul dan sosokku hanya berlagak menjadi pemikir dengkul.

Jika kau suka mewarnai, warnailah! Aku akan dengan terang-terangan mengamati. Jika hadirku membuatmu terusik, akan kupastikan ketidakhadiranku tidak akan mengusik.

Aku berhenti pada satu ujung cerita bernama takdir. Hari dimana semua kisah kembali bergulir dan  aku pastikan satu musim akan menjadi akhir.

Bahwa kau tidak akan pernah kembali menemukan satu musim  dimanapun. Meski dengan isyarat, jika pintamu adalah janji tentang pamit.

Sunday 6 November 2016

"Mereka"

Mereka bilang tawaku aku sirna pada satu purnama, mereka bilang hadirmu hanya akan ada saat aku tidak mengerjapkan mata.

Mereka ada tanpa diminta. Aku mencium aroma bentuk-bentuk pengkhianatan. Mereka bersorak seolah nafas mereka akan memanjang dalam setiap riuh tepuk tangan.

Atau mungkin oksigen akan selalu bertambah dalam satu kali tepukan?

Aku tidak pernah menemukan satupun anak manusia begitu tulus pada surya. Bahkan pada udara-udara yang tidak pernah berwujud sempurna.

Bahkan kau tidak akan pernah bisa menerka anak serigala dari dalam topeng rusa.

Mereka menghujammu dengan ribuan pisau, tapi mereka yang paling lantang berteriak kesakitan. Miris!

Kau tidak akan pernah paham bagaimana bermain dengan air yang tenang bukan? Sebaiknya kau pahami ini, Arus yang tenang bukan tidak pernah menenggelamkan hujaman ribuan pisau yang berkarat sampai dasar samudera.