Wednesday 28 October 2015

The man who kissed me for the first time

Untuk seseorang yang kali pertama dalam hidupku memberikan peluk dan cium.

Suatu hari nanti akan ada seorang lelaki yang masuk dalam hidupku perlahan-lahan mengikuti alur hidupku lalu memintaku menjadi bagian dari dirinya.

Untuk kali pertama dalam hidupku, aku menatapmu dengan raut yang tidak seramah biasanya

Aku tidak akan mencari dan mempercayakan bahagiaku pada seorang lelaki yang jauh dari caramu mencintaiku.

Suatu hari nanti juga aku pasti akan bersungguh-sungguh memperkenalkan lelaki itu padamu.

Dan untuk seseorang yang suatu hari nanti duduk disebelahku

Bersabarlah, dia mungkin akan menatapmu tidak ramah. Memperhatikanmu dari ujung kepala sampai ujung kakimu sama seperti ibumu menatapku.

Wajar dia memperlakukanmu demikian, tanggung jawabnya atasku akan dia limpahkan padamu kelak

Tentang seseorang itu, seseorang yang membuatku memiliki paham tentang lelaki. Seseorang yang mampu membicarakan banyak hal  denganku, seseorang yang membuatku jatuh hati, seseorang yang menghujaniku dengan peluk dan ciumnya jauh sebelum kamu, seseorang yang lebih berlinang bahagia di hari-hari bahagiaku.

Dia adalah seseorang yang aku sebut dengan ayah

Tuesday 27 October 2015

Suka atau tidak suka

Bukan aku tidak pernah memimpikanmu menjadi pendampingku kelak. Tapi air yang jatuh itu membuat riak. Seperti bising tapi membuatku tidak mampu berpaling.

Kenapa kamu baru hadir sekarang? Setelah pergiku tak mampu lagi untuk berlari memelukmu dengan erat.

Kenanganmu membuatku membuka coretan yang mengisahkan tentang kita pada lalu. Aku tidak pernah menghadirkan ragu meski akhirnya ragu tumbuh seperti benalu.

Aku tidak membiarkan hari-harimu menjadi sepi, meski kita tidak membuat hitam diatas putih tentang pergi.

Kamu tidak akan paham mengapa  kakiku tetap menginjak duri meski aku tau rasanya perih.

Jika hadirku bukan bagian dari inginmu lagi, pun aku akan menjadi tau diri. Bahwa pada kenyatannya setelah pergi adalah menjadi sendiri.

Kakiku terlalu perih tapi aku seperti sudah tidak mampu untuk bersedih. Suka atau tidak suka, diinginkan atau tidak diinginkan. Namamu pernah terukir sebagai "kita" pada hati yang telah retak disana.

Sunday 11 October 2015

Perihal waktu

Aku pernah menanyakan hadirmu pada waktu. Tapi waktu tidak menjawab, dia hanya mempersilahkanku untuk masuk lalu bermain mengikuti aturannya.

Gerimis kali ini tidak seperti biasanya, ada wajah yang tertampung kaku dalam sendu. Lalu suara rintik air itu ikut berseru seakan mengerti arti raut rindu.

Pada setiap tatapan dalam setiap pertemuan hanya menorehkan luka pada harap tentang rasa.

Waktu mempunyai kewajiban tentang setiap pertanyaan yg selalu aku lontarkan meski waktu tidak pernah memberi jawaban mati tentang pasti.

Aku hanya tidak ingin mengikatmu terlampau jauh, menghadiahimu luka pada setiap tatapan, menghujanimu dengan setiap senyuman yang sejatinya semu.

Ada hal perlu diingat, aku tidak membuat bualan dalam setiap kata yang aku hidupkan. Kamu berhak untuk kecewa, pun demikian denganku setidaknya aku berhak untuk mengenang tentang kita. Meski rasa bukan penipu ulung yang mengajar tentang dusta.

Patahku mungkin tidak sama dengan patahmu. Diamku pun bukan pembenaran pada setiap katamu.

Tapi paling tidak ada yang paling tulus dalam doaku meski bisuku dan bisumu tidak mewakili pada apa yang terlanjur menguap diudara. Karena benar terkadang beberapa hal lebih baik untuk dibicarakan dan terkadang ada hal yang lebih baik untuk didiamkan tapi tak diabaikan.

Friday 2 October 2015

Tidak demikian

Suatu pagi saat aku menyadari jari-jariku hanya mampu menyentuh jemariku sendiri, sedikit menutup mata lalu bermain dengan sedikit imajinasi dan saat kepalaku mulai penuh dengan egoku sendiri.

Aku paham, ada hal-hal yang perlu aku redam saat aku mulai mengundang seseorang masuk kedalam hidupku

Sesekali pada titik tertinggiku. Aku mengajak diriku sendiri untuk berdiskusi, lalu mempertanyakan apa arti dari hidup itu sendiri. Tapi yang aku temui hanya jawaban hidup adalah untuk mati.

Lalu mengapa semua kepala mendongak tinggi padahal sejatinya kepala mereka nantinya akan berada tepat sangat dekat dengan kaki mereka sendiri saat ini.

Mana mungkin aku lupa, aku, kamu, kita, mereka memainkan peran dan cerita masing-masing. Aku tidak lupa bahwa aku adalah lakon dalam setiap cerita yang berbeda setiap hari.

Tembok putih itu adalah saksi kunci bahwa hidup pernah sebersih itu  Lalu hari bermain dalam seni mengganti cerita demi cerita.

Pada kenyataannya aku terlalu takut untuk kehilangan apa yang aku genggam, tapi hidup memang lalu lalang. Datang lalu pergi, mencintai lalu membenci, berteman lalu bermusuhan, hidup lalu mati.

Hidup memang berputar

Tidak perlu sekasar itu mendoakan
Seseorang, kamu tidak pernah tau seberapa sulit dia berjuang untuk menciptakan lengkung dari sudut bibirnya.

Tumbuh menjadi dewasa tidak demikian dalam kepalaku.