Wednesday 14 June 2017

Dear jiovanni

Mungkin suatu hari aku akan lupa tentangmu, aku akan lupa tentang cara kita tertawa. Mungkin kita terlalu terbang dengan ego kita. Entah karena kita lupa atau karena usia.

Tapi sungguh jika masa itu tiba, ingatkan aku bahwa aku mencintaimu.

Bahwa aku pernah menangisi kehadiranmu, hingga basah sajadahku. Aku begitu memohon pada penciptaku tentangmu, tentang hadirnya hari dimana bersamamu adalah sebetul-betulnya pulang.

Kalimat itu sungguh sederhana, sangat sederhana. Merubahmu menjadi sosok yang penting bagiku, dan begitu pula sebaliknya. Bahkan kita memiliki ketergantungan, mungkin semacam simbiosis mutualisme.

Bahwa kamu adalah jalanku menuju surga, dan aku adalah jalanmu menuju surga.

Dalam imajinasiku, aku bahkan tidak berani membayangkan sosokmu yang benar menjadi pendamping hidupku.

Hampir meledak jantungku, untuk kali pertama dalam hidupku mencium tanganmu menjadi imam dalam hidupku.

Karena kepulangan masing-masing dari "kita" adalah selelah-lelahnya perjalanan panjang dalam kumpulan cerita yang panjang dalam satu pelukan dan berhenti didalam ikatan pernikahan.

Aku terlalu khawatir, waktuku dan waktumu terlalu sempit dan sangat kurang didalam putaran jam yang terlalu cepat 7/24.

Cerita kita bukan lagi romansa remaja yang bermodal cinta dan luka lalu berubah lagi menjadi asmara. Alur kita sedikit lebih diatas dari sederhana.

Aku tidak memintamu untuk mempercayainya atau tidak, tapi hari dimana kehadiranmu adalah sebaik-baiknya ketulusan dari sebuah "permintaan", maka suatu hari nanti pun akan ada hari untukmu tentang setulus-tulusnya permintaan.

Permintaanku......

"Jika kamu tidak keberatan, aku yang akan memintamu untuk menjadi pasanganku di akhirat kelak"

Kekasih.......

Waktu kita mungkin masih panjang, jika aku adalah seseorang yang kamu anggap layak.

Aku benar-benar membenci jarak kali ini, tapi jarak juga yang mengajarkan kita pada "kesabaran". Jadi harus aku benci atau aku ajak berdamai kali ini?

Terkadang logikaku tidak mampu untuk menemukan jawaban dari kegilaan sebuah cerita yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Ratusan kilometer menjadi 0 kilometer. Bahkan jarak terjauh untuk kita hanya sebatas punggung. Bagaimana aku tidak berdecak kagum?

Bagian akhir kali ini adalah jawaban untuk setiap pertanyaan yang sama, dan sering kamu pertanyakan "apakah aku menyesal menikahimu"

Teruntukmu seseorang yang aku biarkan namamu menjadi bagian dari nama belakangku "bagaimana mungkin aku menyesal memilihmu, sementara syukurku tidak pernah berhenti atas kehadiranmu"

No comments:

Post a Comment